Friday, August 26, 2022

[Review] MENCURI RADEN SALEH (2022): Perlawanan Hadir dalam Berbagai Bentuk

 

"Tapi dia harus tau, kalau kita juga bisa ngelawan."

– Piko (Iqbaal Ramadhan)


Rasa kagum dan bangga mungkin merupakan ekspresi yang tepat melihat betapa beraninya film ini berusaha menggapai pencapaian baru di industri perfilman Indonesia, terutama dalam kategori film genre. Film ber-genre heist bisa dibilang sangat jarang kehadirannya dalam film Indonesia, dan film ini hadir dengan persiapannya yang sangat-sangat matang dan eksekusi yang luar biasa padat. Memanfaatkan 2,5 jam durasinya tanpa kedodoran seakan-akan tugas yang mudah bagi film ini, dikarenakan karakternya yang memiliki keunikan dan ketertarikan masing-masing, juga memiliki motivasi plot yang jelas.


Dikisahkan Piko (Iqbaal Ramadhan), seorang mahasiswa yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemalsu lukisan, dan kali ini mendapatkan tawaran untuk membuat replikasi lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh, sang maestro. Tapi dengan adanya kejadian tak terduga, yang awalnya hanya sekadar mereplika lukisan, kini Piko dan kawan-kawan harus menukar lukisan yang asli dengan palsu. Dan tentu saja semua tidak akan berjalan semulus itu.


Menggunakan lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" sebagai sorotan utama dalam film ini tentunya bukan tanpa alasan, ataupun karena sekadar Raden Saleh merupakan nama yang paling mudah diingat ketika disuruh menyebutkan nama-nama pelukis di Indonesia. Lukisan tersebut menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang dijebak secara licik dan curang pada tahun 1830. Lima tahun kemudian, seorang pelukis asal Belanda yang bernama Nicolas Pieneman membuat lukisan atas peristiwa tersebut yang diberi judul "Penyerahan Pangeran Diponegoro", di mana digambarkan kekalahan Diponegoro dan kegemilangan Belanda.


Lukisan tersebut rupanya memancing rasa "perlawanan" dari seorang Raden Saleh, dengan cara membuat lukisan "tandingan" yang hampir menyerupai lukisan sebelumnya namun memiliki banyak perubahan. Seperti perubahan sudut pandang agar bendera Belanda tidak terlihat, ekspresi Diponegoro yang lebih mendongak ke atas, dan mengubah judul lukisan tersebut dari “Penyerahan” menjadi “Penangkapan”.


Menariknya, yang dilakukan Piko dan kawan-kawan sepanjang film ini seperti berefleksi kepada kejadian penangkapan Diponegoro yang sesungguhnya merupakan penjebakan, ataupun berefleksi kepada landasan mengapa Raden Saleh membuat lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yakni perlawanan. Dua hal yang sangat mungkin menimpa siapapun termasuk anak muda.


Perlawanan yang dilakukan oleh para komplotan di film ini mungkin hampir sama dengan yang apa Raden Saleh lakukan hampir 200 tahun lalu. Bahkan ketika negara sudah merdeka pun akan tetap ada kekuasaan yang lebih tinggi yang akan memanfaatkan atau mengontrol yang kedudukannya lebih rendah dari mereka untuk kepentingan pribadi dari sang penguasa tersebut. Semua ini tergambarkan cukup believeable dikarenakan dunia dan karakternya yang dibuat grounded sedemikian rupa dan tidak terlihat over-the-top ataupun kartunis.


Secara teknis, Angga Sasongko selaku sutradara sepertinya tidak mau terlihat seperti sedang bermain aman. Massive set pieces, sinematografi unik dari Bagoes Tresna Adji, serta scoring majestic dari Abel Huray benar-benar memberikan statement bahwa film Mencuri Raden Saleh merupakan film berskala besar yang diciptakan untuk membuat penontonnya ikut menjadi bagian dari pencurian tersebut. Dan serta merta tidak hanya menjadikan filmnya sebagai ajang pamer teknis namun juga memiliki subyek dan urgensi yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Ini juga merupakan bentuk perlawanan dari para pembuat film untuk bisa melampaui kapabilitas mereka sebagai pembuat film di bidangnya masing-masing untuk menghasilkan karya yang tidak biasa.


Mencuri Raden Saleh dengan segala keseriusan dan kemantapannya dalam bercerita, pantas dinobatkan sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun 2022 ini. Semoga kehadirannya disambut dengan hangat dan industri perfilman Indonesia memiliki variasi genre yang lebih beragam namun tetap memiliki substansi yang signifikan.




Sunday, July 31, 2022

[Review] PENGABDI SETAN 2: COMMMUNION (2022)

I do definitely had hopes for this one. Specifically because I love Joko Anwar's works pre-Satan Slaves (and also Satan Slaves itself). The dude also has this perfect branding and persona that he oftenly shapes and shares on social media. Whether his views on politics, religions, social, culture, and even obsessions of the unknown. His past works oftenly reflects his persona and audiences who watched them can feel the love and passion that he put in his films.

But not until his last two feature films that I felt kinda stumbled upon putting his personal views into his films and the need to satisfy more wider audiences (since Satan Slaves was the first major box office success in his career). Feels very hard to balance two of these things in able to make a more coherent film and not just an arena for his fans to putting together a puzzle that somewhat is not important to non-fans audience.

During the first act of Satan Slaves 2, I was surprised about the setting and the discourse that this film is trying to bring. The socio-politic content was the last thing that I could think of when it comes to Satan Slaves. And the introduction of the apartment is just top notch. From the various residents to the eerie atmosphere, like an almost perfect way to start your film (also reminded me of Fiksi, Mouly Surya's film that was written by Joko). It's almost like giving a bit of taste of what's the film going to become, and makes me as an audience believe that the scale in this one is going to be bigger than the first film. To be honest during the first act alone, I was ready to say that somehow Joko's going for his old path in filmmaking. With more critical content and unique treatment. And might be one of Joko's best.

But as the second act begin, the film kinda abandoned all of that critical setup in the first act. Making it just an exploration of mystery (for some characters) and a mumbo-jumbo of terrors (for some other characters, including new ones). For the mystery itself, we didn't really get some new informations about the cult and the deadites. Most of it already been given in the first film. And about the terror, I was hoping for arc-related terrors for the new characters, instead of some random terror and then jumpscares. But I gotta admit, the treatment for the horror sequences are kinda unique, and the technical unit really excels at what they done. But then again, too much pointless terrors with uninteresting payoffs are kinda bit dull.
My question is, why abandon such high concept that was already brought in the first act and just went through the generic "exploring and get scared" trope in the second act? It feels like Joko just repeating his own (I don't know, should I call it casualties at this point, because he did this for three times in a row now?). If he did this to get in the way of public audiences heart, I believe there's a more solid way instead of just making your film a terror fest. Is it a wasted potential? If I may say, yes. It is. Because I know Joko's able to be full blown Joko Anwar with his critical, sassy, and unexpected mind. And I will wait if he's ever gonna do that again.