Friday, March 31, 2017

[Review] GET OUT (2017)


“A MIND IS A TERRIBLE THING TO WASTE”

Kalimat diatas yang hanya muncul sekilas dan mungkin akan terlewat jika anda tidak fokus, ternyata mempunyai arti yang dalam bagi saya. Dan mungkin kalimat tersebut wraps the whole movie. “Get Out”  adalah karya teranyar dari Jordan Peele, seorang komedian yang mulai merambah dunia perfilman. ”Get Out” adalah debut nya sebagai sutradara. Film ini diproduksi oleh Blumhouse, production house yang terkenal dengan film film horornya. 


Menceritakan sebuah pasangan interrasial, Chris (Daniel Kaluuya) seorang fotografer berkulit hitam, berpacaran dengan Rose (Allison Williams) yang berkulit putih. Pasangan interrasial juga bisa ditemukan sebelumnya dalam film “Loving” yang rilis di tahun 2016 silam. Rose mengajak Chris untuk ber-akhir pekan di villa milik orang tua Rose, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener). Dan disinilah semua bermula. Banyak hal-hal yang dianggap Chris tidak wajar. 


Keunggulan utama dari film ini adalah skenario nya yang sangat brilian. Ide cerita yang belum pernah ditemui dimanapun. Banyaknya metafora dan fakta yang diputar balikkan menjadi faktor kekaguman tersendiri. Sejak kapan pasangan interrasial menjadi topik utama dalam film horror? Dari opening scene nya saja, sudah terlihat mau kemana film ini berjalan. Pengenalan karakter nya berjalan perlahan. Bagaimana perilaku karakter karakter ini, dan apa maksud yang ingin disampaikan oleh karakter tersebut. 


Jangan lupa bahwa ini adalah horror komedi. Karena sepanjang film akan ada karakter Rod (Lil Rel Howery), best friend dari Chris. Rod lah yang akan mengantarkan dialog komedi dan siap membuat anda tertawa. 


Memasuki babak ke 2, akan banyak pertanyaan yang muncul dalam benak anda. Hingga memasuki babak ke 3, barulah semua pertanyaan terjawab, dan klimaks yang tak kenal ampun dimulai. Keeps you on the edge of your seat. Lupakan semua yang anda tahu di awal, karena jawaban dari pertanyaan pertanyaan yang ada di benak anda sangatlah bertolak belakang dari yang anda kira. 


Akting yang sangat mumpuni dari Williams dan Howery  cukup memberikan gejolak emosi dalam diri penonton. Film ini menyajikan topik rasisme – hal yang cukup dipermasalahkan di Amerika saat ini, dengan sangat unik. Kita tidak melihat rasisme secara stereotype, tetapi malah sebaliknya. Ide cerita yang sangat unik. 


“Get Out” bukan sekedar unik, tapi sebuah suguhan baru dalam industri perfilman horror Hollywood. Saat horror kebanyakan hanya mengandalkan jumpscare instead of using its atmosphere to create horror, “Get Out” membawa keduanya. Sebuah film horror anti mainstream, yang wajib anda saksikan di bioskop.

 "Sink into the floor."




Thursday, March 23, 2017

[Review] DEAR NATHAN: Sebuah Adaptasi yang Sesuai Ekspektasi


Judul diatas berdasarkan honest opinion dari adek gue. Okay, how do I begin? Dear Nathan, sebuah cerita yang premis nya mainstream. Berasal dari cerita di aplikasi Wattpad, lalu diterbitkan menjadi novel. Jadi bestseller, dan sekarang jadi film. Ntap sekali mbak Erisca ini. Selamat ya mbak, dari Wattpad bisa jadi film. 


So basically it’s all about cewek lugu(oblok) dan cowok bandel. Cuih, banyak banget cerita model begini. Anyway, Salma adalah si Cewek Lugu. Lugu karena belum pernah pacaran, murid teladan, ikut osis, etc. Sedangkan si Nathan yang bandel nya bener bener, berantem melulu setiap hari, tipikal cowok nakal yang bakal lo temuin di sekolah lo sehari-hari. 


Amanda Rawles, diriku bingung memahami dirimu. Ceritanya lo murid yang lugu, but only in the first 10 minutes! Pas judul “Dear Nathan” muncul, BYAR ilang deh paras dirimu yang lugu itu. Gue gak bakal ngebandingin akting doi disini sama di film "Promise". Karena gua gak nonton film itu.


Meng-casting Jefri Nichol sebagai Nathan adalah langkah yang tepat. Meskipun misalkan Aliando yang jadi Nathan juga gak bakal jauh beda sih. Jefri Nichol, bagaimana ku mendeskripsikan dirimu? Okey lo badass (kaya si Aw Aw), setiap lu muncul penonton histeris (bukan berdasarkan kesaksian gue), lu juga bisa bikin penonton nangis. Tapi sorry, gue gak terpengaruh sama paras rupawan lu itu. You cried a lot, you made most of the audience cry a lot. But somehow, emosi lu tuh gak sampe ke gue. Mungkin karena cara penuturan adegan nya juga kali ya, semua subplot ditumpuk di second half. 


Yang menurut gua scene stealer disini: MBOK IJAH PEMBANTUNYA NATHAN! Muncul cuma sebentar, tapi permainan emosinya kuat. Seinget gue kayanya ada plot hole deh. What happened to Afifah? Only God knows. 


Dari segi cerita, okey. Teknis, okey. Beberapa shot yang diambil pake drone pun gak pecah. Tapi masalah yang masih kepikiran tuh, terlalu banyak konflik dan subplot. Diriku merasa keteteran. Untungnya akting Jefri dan Surya Saputra bagus, jadi bisa nutupin subplot yang kebanyakan itu.


Ada yang bilang bahwa film ini lebih bagus dari film “Galih & Ratna” yang juga bertemakan cinta di SMA. Walaupun jajaran cast di film ini lebih mirip anak SMA beneran, but sorry, G&R are way better than this. And I won’t tell you why, just prove it for yourself. Kalo penasaran bisa cek review G&R gue disini.


Film ini setting nya di SMA, dan sangat relatable dengan anak SMA di Indonesia 2017. Meski shot-shot yang disajikan tidak terlalu “berkelas”, tapi cukup buat menggambarkan suasana SMA. So overall, ini film remaja. Yang remaja banget. Sekarang gue being ‘sampis’. Gagalnya penyampaian emosi dan konflik yang datang berderet menjadi masalah utama di film ini. Peace out. Pendek kan tulisannya? :)
Ooh, and I love this shot very much.



Thursday, March 9, 2017

[Review] GALIH & RATNA: Sebuah Mixtape Untuk Para Milennial


"Mixtape artinya adalah SURAT CINTA."

 Sebelumnya perkenankan, ini adalah pertama kalinya saya membuat review film. 
Galih & Ratna adalah sebuah film yang diadaptasi dari novel "Gita Cinta dari SMA" karya Eddy D Iskandar. Novel ini sebelumnya juga pernah diadaptasi pada tahun 1979 dengan judul yang sama, dibintangi Rano Karno dan Yessy Gusman yang sangat populer pada eranya.

 
Kita semua mungkin sudah tahu mengenai 2 karakter yang legendaris ini. Cinta pertama di SMA yang tidak berakhir indah.
Adalah Galih, seorang siswa SMA yang tinggal bersama ibu dan adiknya. Murid yang pintar. Tinggi, misterius, berbeda dari yang lain. Mewarisi sebuah toko kaset yang ditinggali oleh ayahnya.
Ada pula Ratna, seorang gadis pindahan dari Jakarta. Tinggal bersama tantenya, ayah nya sibuk bekerja.
Mereka bertemu, dan mempunyai ketertarikan yang sama: musik.



Disutradarai oleh Lucky Kuswandi, yang sebelumnya pernah mencuri perhatian di Cannes 2015 dengan film pendek nya yang bertajuk "The Fox Exploits the Tiger's Might". Karya-karyanya tidak perlu diragukan lagi. 

Yang saya sukai dari film ini adalah, cara berceritanya yang sangat sederhana, namun sangat melekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan konfliknya pun terasa real, tidak terasa lebay dan klise. Sinematografi oleh Amalia TS pun sangat mempesona. Kita disajikan warna warna yang sangat elegan dan terasa vintage. Sangat berkelas dan tidak murahan. Skenario yang ditulis oleh Lucky dan Fathan Todjon pun sangat brilian. Dialog tentang mendengarkan musik melalui kaset, dimana kita harus mendengarkan dari awal kaset sampai akhir kaset sangat menyentuh hati saya. Soundtrack di film ini pun tidak main-main. Sangat catchy dan penempatannya sangat pas.


Jajaran pemain di film ini pun masih boleh dibilang pendatang baru.
Ada Refal Hady sebagai Galih. Aktingnya disini sangat meyakinkan. Walaupun range emosinya masih belum terlalu luas, tapi cukup membuat para gadis meneteskan air mata.


Sheryl Sheinafia, yang berperan sebagai Ratna juga bermain dengan bagus. Sebelumnya dia pernah berakting di "Koala Kumal" arahan Raditya Dika tahun lalu. Dan akting Sheryl di film itu juga sangat bagus. Di film ini pun, dia tidak kalah bagus. Sebagai gadis yang insecure sampai menjadi gadis yang sangat determined, Sheryl bermain apik di film ini.


Lalu ada pendatang baru, seperti Agra Piliang, Stella Lee, dan Rain Chudori yang berperan sebagai teman-teman Galih & Ratna.


Tapi, scene stealer disini bukanlah Refal, Sheryl, Agra, Stella, maupun Rain. Tapi Marissa Anita yang berperan sebagai Tante Tantri-lah yang berhasil merebut hati saya. Diawal tahun, saya sempat menyaksikan penampilan Marissa Anita dalam film "Istirahatlah Kata-Kata". Beliau berperan sebagai Sipon, istri dari Widji Thukul. Dalam film tersebut, Marissa memainkan sosok wanita yang melankolis, sedih, berwajah murung setiap saat. Tetapi dalam film ini, Tante Tantri adalah kebalikan dari Sipon. Tante Tantri adalah sosok yang sangat periang, seorang tante yang sangat penyayang, selalu memberi semangat kepada keponakannya, dalam kata lain: tante-tante kekinian. Marissa Anita sangat berhasil dalam memerankan peran ini. Sebuah karakter yang lovable. Bayangkan jika karakter Tante Tantri diperankan oleh orang lain. Mungkin saya tidak sebegini cintanya dengan Tante Tantri.


Para aktor pendukung seperti Ayu Dyah Pasha, Joko Anwar, Hengky Tarnando, Sari Koeswoyo, dan Indra Birowo bisa meninggalkan kesan tersendiri bagi saya.


Salah satu faktor yang sangat menarik di film ini adalah, bagaimana cara film ini mengangkat musik menjadi topik utama. Bagaimana mengajak kita-generasi milenial, untuk mendengarkan musik melalui kaset pita kembali. Bagaimana menghargai musik dan menyerap esensinya. Di film ini juga tersirat pesan moral: bagaimana kita harus menghargai mimpi orang lain.


Overall, film ini adalah sebuah surat cinta. Surat cinta untuk para generasi milenial, maupun generasi sebelumnya.