"Tapi dia harus tau, kalau kita juga bisa ngelawan."
– Piko (Iqbaal Ramadhan)
Rasa kagum dan bangga mungkin merupakan ekspresi yang tepat melihat betapa beraninya film ini berusaha menggapai pencapaian baru di industri perfilman Indonesia, terutama dalam kategori film genre. Film ber-genre heist bisa dibilang sangat jarang kehadirannya dalam film Indonesia, dan film ini hadir dengan persiapannya yang sangat-sangat matang dan eksekusi yang luar biasa padat. Memanfaatkan 2,5 jam durasinya tanpa kedodoran seakan-akan tugas yang mudah bagi film ini, dikarenakan karakternya yang memiliki keunikan dan ketertarikan masing-masing, juga memiliki motivasi plot yang jelas.
Dikisahkan Piko (Iqbaal Ramadhan), seorang mahasiswa yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemalsu lukisan, dan kali ini mendapatkan tawaran untuk membuat replikasi lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh, sang maestro. Tapi dengan adanya kejadian tak terduga, yang awalnya hanya sekadar mereplika lukisan, kini Piko dan kawan-kawan harus menukar lukisan yang asli dengan palsu. Dan tentu saja semua tidak akan berjalan semulus itu.
Menggunakan lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" sebagai sorotan utama dalam film ini tentunya bukan tanpa alasan, ataupun karena sekadar Raden Saleh merupakan nama yang paling mudah diingat ketika disuruh menyebutkan nama-nama pelukis di Indonesia. Lukisan tersebut menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang dijebak secara licik dan curang pada tahun 1830. Lima tahun kemudian, seorang pelukis asal Belanda yang bernama Nicolas Pieneman membuat lukisan atas peristiwa tersebut yang diberi judul "Penyerahan Pangeran Diponegoro", di mana digambarkan kekalahan Diponegoro dan kegemilangan Belanda.
Lukisan tersebut rupanya memancing rasa "perlawanan" dari seorang Raden Saleh, dengan cara membuat lukisan "tandingan" yang hampir menyerupai lukisan sebelumnya namun memiliki banyak perubahan. Seperti perubahan sudut pandang agar bendera Belanda tidak terlihat, ekspresi Diponegoro yang lebih mendongak ke atas, dan mengubah judul lukisan tersebut dari “Penyerahan” menjadi “Penangkapan”.
Menariknya, yang dilakukan Piko dan kawan-kawan sepanjang film ini seperti berefleksi kepada kejadian penangkapan Diponegoro yang sesungguhnya merupakan penjebakan, ataupun berefleksi kepada landasan mengapa Raden Saleh membuat lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yakni perlawanan. Dua hal yang sangat mungkin menimpa siapapun termasuk anak muda.
Perlawanan yang dilakukan oleh para komplotan di film ini mungkin hampir sama dengan yang apa Raden Saleh lakukan hampir 200 tahun lalu. Bahkan ketika negara sudah merdeka pun akan tetap ada kekuasaan yang lebih tinggi yang akan memanfaatkan atau mengontrol yang kedudukannya lebih rendah dari mereka untuk kepentingan pribadi dari sang penguasa tersebut. Semua ini tergambarkan cukup believeable dikarenakan dunia dan karakternya yang dibuat grounded sedemikian rupa dan tidak terlihat over-the-top ataupun kartunis.
Secara teknis, Angga Sasongko selaku sutradara sepertinya tidak mau terlihat seperti sedang bermain aman. Massive set pieces, sinematografi unik dari Bagoes Tresna Adji, serta scoring majestic dari Abel Huray benar-benar memberikan statement bahwa film Mencuri Raden Saleh merupakan film berskala besar yang diciptakan untuk membuat penontonnya ikut menjadi bagian dari pencurian tersebut. Dan serta merta tidak hanya menjadikan filmnya sebagai ajang pamer teknis namun juga memiliki subyek dan urgensi yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Ini juga merupakan bentuk perlawanan dari para pembuat film untuk bisa melampaui kapabilitas mereka sebagai pembuat film di bidangnya masing-masing untuk menghasilkan karya yang tidak biasa.
Mencuri Raden Saleh dengan segala keseriusan dan kemantapannya dalam bercerita, pantas dinobatkan sebagai salah satu film Indonesia terbaik tahun 2022 ini. Semoga kehadirannya disambut dengan hangat dan industri perfilman Indonesia memiliki variasi genre yang lebih beragam namun tetap memiliki substansi yang signifikan.